Beranda | Artikel
Kaffarat Orang yang Menyetubuhi Istrinya Di Siang Hari Ramadhan?
Selasa, 26 Oktober 2004

KAFFARAT ORANG YANG MENYETUBUHI ISTRINYA

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Seorang yang berpuasa telah menyetubuhi istrinya, bolehkah ia memberi makan enam puluh orang miskin sebagai kaffaratnya .?

Jawaban.
Barangsiapa yang menyetubuhi istrinya di siang hari Ramadhan padahal ia sendiri wajib berpuasa, maka ia wajib berkaffarat berupa memerdekakan hamba sahaya ; jika tak mampu, wajib berpuasa dua bulan berturut-turut ; jika tak mampu, wajib memberi makan enam puluh orang miskin.

Penanya mengatakan : “Bolehkah dirinya berkaffarat dengan cara memberi makan enam puluh orang miskin ?” Kami jawab : “Jika masih kuat berpuasa, maka ia wajib berpuasa dua bulan berturut-turut”. Puasa dua bulan akan ringan bila seseorang bertekad ingin melakukannya kecuali jika malas. Segala Puji bagi Allah yang telah menjadikan bagi kita beberapa hal yang jika dilakukan akan dapat menghapus siksa akhirat. Karena itu, kepada saudara penanya, kami sarankan hendaklah saudara berpuasa berturut-turut jika tak ada hamba sahaya untuk di merdekakan. Puasa kaffarat tersebut boleh dilakukan pada musim hujan biar udara dingin dan sejuk. Kewajiban kaffarat tersebut berlaku pula bagi istrinya, jika bersetubuh atas kehendaknya sendiri, kecuali jika dipaksa. Bagi yang dipaksa tak wajib kaffarat dan qadla serta puasanya tetap sempurna.

BERSETUBUH DI SIANG HARI RAMADHAN

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bagaimana hukum orang yang bersetubuh di siang hari Ramadhan?

Jawaban.
Jika ia termasuk orang yang boleh berbuka, seperti tengah menempuh suatu perjalanan, maka tidak mengapa bersetubuh. Dan jika keduanya tidak termasuk yang boleh berbuka, maka bersetubuh haram, berdosa serta wajib qadla. Di samping wajib qadla, iapun wajib memerdekakan hamba sahaya ; jika tak mampu, wajib berpuasa dua bulan berturut-turut ; jika tak mampu, wajib memberi makan kepada enam puluh orang miskin. Kewajiban ini berlaku pula kepada istrinya, kecuali jika dipaksa melakukannya.

BOLEHKAH MEMBERI MAKAN KEPADA SELAIN KAUM MUSLIMIN ?

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bolehkah memberi makan kepada selain muslimin dan berpakah macam orang sakit dalam berpuasa .?

Jawaban.
Pertama, kami kemukakan bahwa sakit itu ada dua macam ; [a] sakit yang bisa diharapkan sembuh, maka hukumnya diterangkan Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 185. Orang yang sakit seperti ini hendaknya menunggu sembuh setelah itu baru berpuasa. Jika diperkirakan bahwa sakitnya akan berkepanjangan dan ternyata ia meninggal dunia sebelum sempat membayar puasanya, maka ia tak wajib mengqadlanya, sebab terburu mati, tak jauh berbeda dengan yang meninggal dunia pada bulan Sya’ban. [b] sakit yang tak kunjung sembuh, seperti kanker atau rematik, mag, pusing atau yang lainnya. Orang yang berpenyakit seperti ini boleh selamanya tak berpuasa dan digantikan kewajibannya dengan memberi makan seorang miskin pada setiap harinya. Yang berpenyakit seperti ini sama kedudukannya dengan orang yang sudah tua renta yang tak sanggup lagi berpuasa. Allah berfirman :

وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ

Dan wajib bagi orang berat menjalankannya (jika mereka tida berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin“. [Al-Baqarah : 184]

Itulah keringanan pertama bagi yang tak mampu berpuasa, namun akan lebih baik jika mereka tetap berpuasa menurut kelanjutan ayat di atas. Maka dalam hal ini ada pilihan antara berpuasa dan memberi fidyah. Kemudian puasa sendiri wajib pada ayat berikutnya (Al-Baqarah : 185). Dengan demikian Allah menjadikan pemberian makanan sebagai imbangan puasa. Jika seseorang tak mampu berpuasa, baik pada bulan Ramadlan atau sesudahnya, maka kita kembalikan kepada imbangannya yaitu memberi fidyah. Karena itu, fidyah wajib bagi yang sakit tak kunjung sembuh atau kepada yang sudah tua renta yang tak sanggup berpuasa, baik dengan cara langsung diberikan kepada fakir miskin atau mereka yang diundang untuk makan sesuai dengan jumlah hari-hari puasa, seperti yang pernah dilakukan oleh Anas sewaktu tua.

Kedua, jika orang yang hendak fidyah masih menemukan orang Islam yang miskin di negerinya, maka berika fidyah tersebut kepada mereka. Jika tidak ada orang Islamnya, maka fidyah hendaknya disalurkan kepada negara Islam yang membutuhkannya.

WAJIB PUASA TANPA FIDYAH

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Saya nikah dengan seorang wanita yang punya hutang puasa Ramadlan sepuluh hari, apakah saya keluarkan fidyah untuknya karena diketahui ia bukan menjadi tanggunganku atau wajib bagi orang tuanya. Ia sendiri sekarang hamil delapan bulan, wajibkah ia berpuasa .?

Jawaban.
Bismillahirahmanirrahim. Jika wanita tersebut melahirkan dan habis masa nifasnya, ia wajib berpuasa tanpa fidyah.

FIDYAH ORANG SAKIT

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah yang sakit tak kunjung sembuh wajib berpuasa atau fidyah. Jika wajib fidyah, apakah boleh dikeluarkan lebih dulu dan bolehkah diberikan kepada satu orang atau beberapa orang. Jika ia sembuh, wajibkah ia qadla atau tidak .?
[Mahmud Zaky Hawary, Amman]

Jawaban.
Jika sembuh dari penyakitnya, ia tak wajib berpuasa, sebab telah menunaikan kewajiban dan telah bebas.

WAJIB QADLA ATAU MEMBERI FIDYAH BAGI YANG TIDAK BERPUASA KARENA SAKIT TERJATUH

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya :Saya terkena musibah sakit terjatuh hingga tak dapat berpuasa Ramadlan karena terus berobat tiga kali sehari. Pernah pula saya puasa dua hari namun tak mungkin meneruskannya. Akan tetapi, saya seorang pensiunan yang bergaji sekitar 83 dinar perbulan dengan seorang istri dan tak ada penghasilan lain, maka bagaimana hukumnya bila saya tak mungkin memberi makan kepad tiga puluh orang miskin selama bulan Ramadlan dan sebanyak apa yang mesti saya keluarkan .?

Jawaban.
Jika penyakitnya bisa diharapkan sembuh pada suatu hari, maka tunggullah sampai hilang sakitnya lalu berpuasa sebagaimana firman Allah (Al-Baqarah : 185). Dan jika penyakitnya tak ada harapan sembuh, maka wajib mengeluarkan makanan kepada seorang miskin pada setiap harinya atau dibuatkan makanan lalu diundang seorang miskin untuk menikmatinya selama hari-hari puasa yang ditinggalakannya. Dengan demikian, tanggung jawab seseorang terpenuhi. Saya kira hal seperti ini akan mampu dilakukan oleh setiap orang. Jika tak mampu memberikannya selama satu bulan, maka boleh dicicil dalam beberapa bulan sesuai dengan kemampuan.

[Disalin dari buku 257 Tanya Jawab Fatwa-Fatwa Al-Utsaimin, karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin, hal.227-230, terbitan Gema Risalah Press, alih bahasa Prof,Drs.KH.Masdar Helmy]


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/1145-kaffarat-orang-yang-menyetubuhi-istrinya-di-siang-hari-ramadhan.html